Rabu, 30 Maret 2016



HUKUM PERUNDAN-UNDANGAN PERBURUHAN
(SOFTSKIL)
 
Hukum perburuhan atau ketenagakerjaan (Labour Law) adalah bagian
dari hukum berkenaan dengan pengaturan hubungan perburuhan baik bersifat perseorangan maupun kolektif. Secara tradisional, hukum perburuhan terfokus pada mereka (buruh) yang melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan subordinatif (dengan pengusaha/majikan).
Disiplin hukum ini mencakup persoalan-persoalan seperti pengaturan hukum atau kesepakatan kerja, hak dan kewajiban bertimbal-balik dari buruh/pekerja dan majikan, penetapan upah, jaminan kerja, kesehatan dan keamanan kerja dalam lingkungan kerja, non-diskriminasi, kesepakatankerja bersama/kolektif,peran-sertapekerja, hak mogok, jaminan pendapatan/penghasilan dan penyelenggaraan jaminan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarga mereka.
Dalam kepustakaan internasional, galibnya kajian
Hukum
Perburuhan terbagi ke dalam tiga bagian:
a.       Hukum Hubungan Kerja Individual (Individual Employment Law);
b.      Hukum Perburuhan Kolektif (Collective Labour Law);
c.       Hukum Jaminan Sosial (Social Security Law), sejauh terkait dengan pokok-pokok bahasan di atas.

            Secara  tradisional  Hukum Perburuhan dibagi ke dalam lima bagian, yaitu dengan mengikuti pandangan  Profesor Iman  Soepomo. Kendati demikian, sejak awal abad ke-21, perundang-undangan dalam bidang kajian Hukum Perburuhan direstrukturisasi dan dibagi ke dalam tiga legislasi utama: Undang-Undang (UU) No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
            Dalam kaitan dengan kajian hukum perburuhan Indonesia, maka diputuskan membuat kompromi antara pembagian yang digunakan pada tataran internasional dengan pembagian berdasarkan perundang-undangan Indonesia, sebagai berikut:
a.      Hukum Ketenagakerjaan Individual (Individual Employment Law)
b.      Hukum Perburuhan Kolektif (Collective Labour Law)
c.      Penyelesaian Sengketa Perburuhan/Ketenagakerjaan (Labour Dispute Settlement).

Sejarah hukum perburuhan
            Hukum Perburuhan ditengarai muncul pertama kali di Eropa sebagai reaksi atas perubahan-perubahan yang dimunculkan Revolusi Industri. Penemuan mesin (tenaga) uap di Inggris sekitar 1750, membuka peluang untuk memproduksi barang/jasa dalam skala besar. Sebelum itu, secara tradisional, pekerjaan di bidang agrikultur diselenggarakan mengikuti sistem feodalistik, pekerja atau buruh mengerjakan tanah milik tuan tanah dan menghidupi diri mereka dari hasil olahan ladang yang mereka kerjakan sendiri. Sejak abad pertengahan, di perkotaan, kerja terlokasir di pusat-pusat kerja kecil dan diselenggarakan oleh kelompok-kelompok pekerja dengan keahlian tertentu (gilda) yang memonopoli dan mengatur ragam bidang-bidang pekerjaan tertentu. Sekalipun demikian, kelas wirausaha (entrepreneur) baru yang bermunculan menuntut kebebasan dalam rangka memperluas cakupan dan jangkauan aktivits mereka.
            Revolusi Prancis (1795) menjadi simbol tuntutan dari kelompok baru masyarakat modern yang mulai muncul: diproklamirkan keniscayaan persamaan derajat bagi setiap warga Negara dan kebebasan berdagang (bergiat dalam lalulintas perdagangan). Hukum pada tataran Negara-bangsa dikodifikasikan ke dalam kitab undang-undang yang dilandaskan pada prinsip-prinsip baru seperti kebebasan berkontrak dan kemutlakan hak milik atas kebendaan. Perserikatan kerja yang dianggap merupakan peninggalan asosiasi pekerja ke dalam gilda-gilda dihapuskan.
            Napoleon menyebarkan ide baru tentang hukum demikian ke seluruh benua Eropa. Meskipun demikian, selama kurun abad ke-19 tampaknya kebebasan-kebebasan baru tersebut di atas hanya dapat dinikmati sekelompok kecil masyarakat elite yang kemudian muncul. Mayoritas masyarakat pekerja/buruh kasar tidak lagi dapat menikmati cara hidup tradisional mereka (yang dahulu berbasis agrikultur) dan terpaksa mencari penghidupan sebagai buruh pabrik. Kebebasan-kebebasan di atas (berkenaan dengan kebebasan berkontrak dan hak milik absolut) secara dramatis memaksakan gaya hidup yang sama sekali berbeda pada mayoritas masyarakat pencari kerja (usia produktif).
            Mereka terpaksa menerima kondisi kerja yang ditetapkan secara sepihak oleh kelompok kecil majikan penyedia kerja. Kemiskinan memaksa mereka, termasuk keluarga dan anak-anak kecil, bekerja dengan waktu kerja yang sangat panjang. Kondisi kerja yang ada juga mengancam kesehatan mereka semua. Gerakan sosialis yang kemudian muncul, namun juga kritikan dari pemerintah, gereja dan militer, kemudian berhasil mendorong diterimanya legislasi perburuhan yang pertama. Di banyak Negara Eropa, buruh anak dihapuskan. Tidak berapa lama berselang penghapusan ini diikuti oleh kebijakan-kebijakan lain berkenaan dengan jam kerja buruh perempuan di bidang industri. Baru kemudian aturan yang sama muncul untuk buruh laki-laki.
            Sekitar tahun 1900-an, beberapa Negara Eropa memodernisasi legislasi mereka perihal kontrak atau perjannjian kerja, yang sebelumnya dilandaskan pada konsep-konsep dari Hukum Romawi. Satu prinsip baru diperkenalkan, yaitu bahwa buruh atau pekerja adalah pihak yang lebih lemah dan sebab itu memerlukan perlindungan hukum. Buruh
mulai mengorganisir diri mereka sendiri dalam serikat-serikat pekerja (trade unions). Secara kolektif mereka dapat bernegosiasi dengan majikan dalam kedudukan kurang lebih setara dan dengan demikian juga untuk pertama kalinya diperkenalkan konsep perjanjian/kesepakatan kerja bersama (collective agreement).
Pendirian Organisasi Perburuhan Internasional ini dilandaskan kepercayaan bahwa perdamaian yang lebih langgeng harus dibangun berdasarkan keadilan sosial. Berkembangnya legislasi bidang per-buruhan di banyak negara juga terdorong oleh krisis ekonomi (malaise, 1930-an) dan pengabaian hukum secara massif oleh pemerintahan Nazi-
Jerman. Presiden Amerika Serikat, Roosevelt, pada akhir Perang Dunia ke-2mendeklarasikan
four freedoms (empat kebebasan) yang terkenal, dalam hal mana kebebasan ke-empat,
freedom from want(kebebasan dari kemiskinan) merujuk pada keadilan sosial. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (UniversalDeclaration of Human Rights; 1948) dengan tegas menyatakan bahwa
hak-hak sosial adalah bagian dari hak asasi manusia. Negara-negara Eropa mengembangkan Negara kesejahteraan di mana warga-negara dilindungi oleh pemerintah dari sejak lahir sampai mati (from the cradle to the grave).

Di Eropa kontinen, undang-undang perburuhan dibuat untuk mencakup semua aspek yang berkaitan dengan kerja. Prancis dan Negara-negara Eropa Timur memberlakukan kodifikasi dalam bidang hukum perburuhan. Di Inggris, karya Otto Kahn-Freund, yang memperkenalkan dan memajukan pengembangan hubungan industrial dan perbandingan hukum di dalam bidang hukum perburuhan, memberikan landasan teoretik bagi pengembangan bidang hukum ini. ILO terus menambah jumlah konvensi dan mengembangkan satu International Labour Codeyang mencakup semua persoalan yang
terkait dengan perburuhan. Sekalipun demikian, selama dan pasca krisis minyak bumi di 1970-an, hukum perburuhan dan jaminan sosial tampaknya telah mencapai puncak perkembangannya. Pada masa itu pula ditengarai adanya sisi lain dari perkembangan hukum perburuhan: perlindungan yang terlalu ketat kiranya menyebabkan berkurangnya daya saing industri dan kelesuan pekerja.
Perkembangan terkini dalam pasar tenaga kerja Indonesia
            Pasar tenaga kerja Indonesia berubah cepat akhir-akhir ini. Jumlah pekerja yang terlibat dalam proses produksi meningkat pesat karena Indonesia berkembang menjadi Negara industri baru. Menyusutnya jumlah tanah agricultural dan persoalan ledakan populasi mendorong perubahan masyarakat Indonesia dari yang dahulu terutama berbasiskan
pertanian menjadi masyarakat industri. Dipicu oleh masuknya modal asing, semakin banyak warga masyarakat Indonesia beralih dari sektor agrikultur masuk ke dalam sektor industri di perkotaan maupun perdesaan. Hambatan tarif yang lebih rendah dalam peredaran barang/
jasa, kemajuan dalam bidang telekomunikasi, murahnya penerbangan komersiil telah membuat Indonesia menjadi tempat menarik bagi investasi.
            Mata pencaharian mayoritas masyarakat tidak lagi di lading dalam bidang pertanian-peternakan namun justru berpindah ke pabrik-pabrik (industri). Banyak korporasi besar tertarik menanamkan modal mereka di Indonesia karena dua hal yaitu, kekayaan sumberdaya alam dan melimpahnya tenaga kerja murah. Perubahan-perubahan yang digambarkan di atas besar pengaruhnya terhadap hukum perburuhan Indonesia.
Karakteristik (ciri-ciri) hukum perburuhan/ketenagakerjaan
§  Lebih banyak (aturan) hukum yang bersifat kolektif
            Banyak disiplin atau bidang ilmu hukum galibnya hanya mengatur hubungan antara warga masyarakat atau korporasi/organisasi satu sama lain. Sebaliknya di dalam bidang kajian hukum perburuhan, pengaturan yang ada mencakup tidak saja hubungan antara majikan dengan buruh pada tataran individu,melainkan juga antara serikat pekerja dengan asosiasi pengusaha satu dengan lainnya, termasuk juga antara organisasi-organisasi tersebut dengan anggota-anggotanya. Ciri ini menjadikan hukum perburuhan sebagai displin hukum tersendiri dengan telaahan spesifik atas persoalan persoalan serta solusi di bidang perburuhan.
Mengkompensasikan ketidaksetaraan (perlindungan pihak yang lebih lemah)Berbeda dengan titik tolak prinsip dasar hukum keperdataan, kesetaraan para pihak, sebaliknya hukum perburuhan beranjak dari pengakuan bahwa buruh dalam realitas relasi ekonomi bukanlah
pihak yang berkedudukan setara dengan majikan. Karena itu pula, maka hukum perburuhan mendorong pendirian serikat pekerja dan mencakup aturan-aturan yang ditujukan untuk melindungi buruh terhadap kekuatan ekonomi yang ada di tangan majikan. Dalam perselisihan perburuhan, juga merupakan tugas pengadilan untuk menyeimbangkan kedudukan hukum para pihak yang bersengketa. Hal ini, antara lain, dicapai dengan membantu buruh, yakni mengalihkan beban pembuktian untuk persoalan-persoalan tertentu kepada majikan.
§  Pengintegrasian hukum privat dan hukum publik
Hukum perburuhan dapat dipandang sebagai bagian hukum keperdataan maupun hukum publik, atau sebaliknya dianggap sebagai cabang atau disiplin hukum mandiri. Untuk ahli hukum perburuhan kiranya tidak penting apakah suatu aturan masuk ke dalam Panah hukum publik atau hukum keperdataan. Apa yang lebih penting adalah bahwa aturan tersebut berlaku efektif. Hal ini sekaligus mengimplikasikan bahwa hukum perburuhan mencakup bagian-bagian yang dapatdipandang masuk ke dalam Panah hukum publik maupun yang masuk ke dalam Panah hukum keperdataan. Sebahagian aturan dalam hukum perburuhan penegakannya diserahkan pada para pihak, sedangkan ada pula yang penegakannya akan dipaksakan dan diawasi oleh lembaga-lembaga pemerintah. Lebih lanjut ada sejumlah peraturan yang memungkinkan penegakkannya dilakukan berbarengan oleh para pihak sendiri dengan aparat penegak hukum, baik secara individual maupun kolektif. Untuk mendapatkan pemahaman utuh atas hukum perburuhan, maka kita harus mempelajari semua bidang hukum damencermati hukum perburuhan dari ragam perspektif berbeda.
§  Sistem khusus berkenaan dengan penegakan
Penegakan hukum perburuhan memiliki sejumlah ciri khusus. Di banyak Negara dapat kita temukan Inspektorat Perburuhan (a Labour Inspectorate) bertanggung jawab untuk mengawasi implementasi dan penegakan dari bagian-bagian tertentu hukum perburuhan. Hukum pidana maupun hukum administrasi didayagunakan untuk menegakkan bagian-bagian hukum publik dari aturan dalam hukum perburuhan. Majikan maupun buruh, di samping itu, dapat menerapkan dan menegakkan sendiri sebahagian lainnya dari hukum perburuhan yang lebih bernuansa hukum privat. Namun juga organisasi kolektif seperti serikat pekerja dapat mendayagunakan semua instrumen penegakan di atas.
            Di samping itu banyak Negara juga mengenal dan mengem-bangkan sistem penyelesaian sengketa perburuhan khusus, yakni peradilan perburuhan (sengketa hubungan industrial). Alhasil, hukum perburuhan dapat ditegakkan melalui instrument hukum pidana, hukum administrasi maupun hukum keperdataan. Bahkan juga hukum internasional turut berpengaruh dalam penegakan hukum perburuhan. Sebagai ilustrasi, ILO dalam rangka memajukan hak berserikat di Indonesia mengritik kebijakan Negara yang menghalangi penikmatan hak ini oleh buruh dan selanjutnya mengirimkan utusan khusus untuk bernegosiasi dan menekan pemerintah mengubah sikap dan pendiriannya

Tempat atau kedudukan hukum perburuhan dalam sistem hukum
            Satu ciri khusus Hukum Perburuhan ialah bahwa cabang ini merupakan percabangan hukum yang sangat fungsional (functional field of law) yang mengkombinasikan semua percabangan hukum lainnya berkenaan dengan tema khusus bekerja di bawah majikan (subordinatedlabour)Sifat dasar hukum perburuhan ini tidak mudah untuk diklasifikasikan mengikuti pembagian tradisional percabangan sistem hukum. Perjanjian kerja yang membentuk landasan dari hukum perburuhan pada asasnya adalah perjanjian keperdataan. Namun, Undang-undang Ketenagakerjaan yang mengatur kontrak demikian harus kita cakupkan ke dalam hukum publik. Dengan demikian, terhadap perjanjian kerja berlaku aturan-aturan umum hukum keperdataan (perjanjian), sebagaimana muncul dalam KUHPerdata maupun aturan-aturan
hukum publik yang bersifat memaksa yang tercakup di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Juga dapat dikatakan bahwa Undang-undang Ketenagakerjaan mengkombinasikan ketentuan-ketentuan dalam hukum keperdataan dan hukum publik, dan karena itu berada di luar klasifikasi tradisional percabangan sistem hukum. Bagian-bagian tertentu hukum perburuhan juga kita temukan di atur di dalam Hukum Pidana, Hukum Acara dan Hukum Pajak. Di samping itu juga
harus kita perhatikan bahwa sebahagian sumber hukum perburuhan adalah hukum internasional. Berkenaan dengan ini apa yang penting dicermati bukan saja Kovenan Hak Asasi Manusia PBB, namun juga konvensi-konvensi yang dikembangkan ILO. Pengaruh ILO terhadap hukum perburuhan kolektif Indonesia sejak 1990’an meningkat pesat.

Sumber-sumber hukum dari hukum perburuhan
Dalam hukum perburuhan Indonesia saat ini, sumber hukum terpenting dalam bentuk perundang-undangan ialah:
• Undang-undang Ketenagakerjaan
• Undang-undang tentang Serikat Pekerja/Buruh dan
• Undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Ketiga pilar di atas membentuk inti dari hukum perburuhan Indonesia dan menjadi pokok bahasan pengantar ini. Kendati begitu perlu pula dicermati bahwa sumber-sumber hukum lainnya juga harus dirujuk dan berperan dalam penyelesaian perselisihan atau sengketa perburuhan konkrit.
Secara umum, sumber-sumber hukum yang terpenting ialah:
Perjanjian-perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Republik indonesia
Undang-undang Dasar 1945
Perundang-undangan untuk hal-hal khusus
Peraturan dan Keputusan Menteri
Kesepakatan kerja bersama
Preseden (putusan-putusan terdahulu dari pengadilan)
Peraturan Kerja yang ditetapkan perusahaan
Perjanjian kerja individual
Instruksi oleh majikan/pemberi kerja
Doktrin hukum



2. KESEPAKATAN/PERJANJIAN KERJA
o   Konsep Perjanjian Kerja
Definisi/pengertian
            Ketentuan Pasal 50 Undang-undang Ketenagakerjaan menetapkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antarapengusaha dengan pekerja/buruh.Hukum Indonesia tidak mendefinisikan perjanjian kerja dengan cara serupa. Namun, Undang-undang Ketenagakerjaan (UU-TKA) mendefinisikan ‘pekerja’ dan ‘majikan’ sebagai berikut:
(3) pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
(4) Pemberi kerja (majikan) adalah orang perseorangan, persekutuan,badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenagakerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. (Pasal 1UU-TKA)
Satu aspek penting dari Perjanjian Kerja ialah tidak diwajibkanuntuk dituangkan dalam wujud tertulis. Ketentuan Pasal 51 (1) UUKmenyatakan bahwa Perjanjian Kerja dapat dibuat secara tertulis maupunlisan. Meskipun demikian, ketentuan Pasal 54 (1) UUK setidak-tidaknya
harus mencakup:
a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh;
c. Jabatan atau jenis pekerjaan;
d. Tempat pekerjaan;
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusahadan pekerja/buruh;
g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

2.     Masa percobaan
            Suatu masa percobaan (a probationary period) dalam hukum perburuhan galibnya adalah suatu jangka waktu, disepakati dalam perjanjian kerja,dalam waktu mana baik pekerja/buruh maupun majikan/pengusaha memiliki waktu untuk memeriksa serta mengevaluasi kerja sama diantara mereka dan memutuskan kontrak kerja dengan sangat mudah.Karena buruh dalam waktu percobaan demikian kedudukan hukumnya sangat tidak pasti, maka hukum perburuhan mengatur dalam kondisi apa klausul masa percobaan dapat dicakupkan/dicantumkan kedalam perjanjian kerja. Terjemahan ke dalam bahasa Inggris dariperaturan perundang-undangan Indonesia berbicara tentang probationperiod (UUK) atau trial period (KUHPerdata). Kiranya keduanya dapatdigunakan bergantian karena memiliki sama arti (sinomim). Kendati demikian pengaturan masa percobaan di keduanya sedikit berbeda satu sama lain.
Ketentuan Pasal 60 UUK menetapkan syarat-syarat bagi
pemberlakuan masa percobaan:
§  Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan  masa percobaan kerja paling lama tiga (3) bulan.
§  Pada masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku

Ketentuan Pasa 1603l KUHPerdata mensyaratkan bahwa jikadiperjanjikan masa percobaan, maka selama waktu itu, tiap pihakberwenang memutuskan hubungan kerja dengan pernyataan pemutusan.Ketentuan ini juga mengimplikasikan bahwa pemberitahuan demikian dapat diberikan dengan daya kerja atau akan efektif seketika

Perjanjian kerja waktu tertentu
            Terjemahan ke dalam bahasa Inggris dari UU Ketenagakerjaan menggunakan istilah perjanjian kerja waktu tertentu (agreements for aspecified time), disingkat PKWT, sedangkan negara-negara lain lebih kerap menggunakan istilah fixed-term contracts (kontrak dengan jangka waktu tetap). Di dalam hukum perburuhan, jenis kontrak seperti ini seringkali dibatasi, yakni untuk mendorong penggunaan kontrak dengan waktu tidak tertentu. Kontrak kerja waktu tidak tertentu kiranya dalam jangka panjang memberikan jaminan perlindungan yang jauh lebih baik bagi pekerja/buruh. Pembatasan demikian dapat berbentuk
            Berdasarkan ketentuan Pasal 59 UUK, perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurutjenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktutertentu. Selanjutnya ketentuan tersebut menjelaskan bahwa pekerjaandemikian mencakup:
1.      Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
2.      Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling    lama 3 (tiga) tahun;
3.      Pekerjaan yang bersifat musiman; atau Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatanbaru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

 Kebijakan pengupahan
            Prinsip yang melandasi peraturan perundang-undangan berkenaan dengan pengupahan ialah bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 UUK). Berlandaskan pada ketentuan itu, maka pemerintah mewajibkan diri sendiri untuk mengembangkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
Di dalam ketentuan yang sama ditetapkan pula bahwa kebijakan
pengupahan yang dikembangkan pemerintah harus mencakup 11
pokok hal sebagai berikut:
1.      Upah Minimum;
2.      Upah kerja lembur;
3.      Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
4.      Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan di luar pekerjaannya;
5.      Upah karena menjalankan waktu istirahat kerjanya
6.      Bentuk dan cara pembayaran upah
7.       Denda dan potongan upah
8.       Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah
9.       Struktur dan skala upah yang proporsional
10.   Upah untuk pembayaran pesangon; dan
11.  Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.





Upah dalam hal buruh tidak bekerja
Ketentuan Pasal 93 UUK menetapkan:
(1)   Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
Apa yang ditetapkan di sini adalah prinsip fundamental yang sejatinya berlaku
bagi setiap pekerja/buruh, terkecuali pekerja/buruh tidak dapat melakukan
pekerjaan bukan karena salahnya.