HUKUM
PERUNDAN-UNDANGAN PERBURUHAN
(SOFTSKIL)
Hukum perburuhan atau
ketenagakerjaan (Labour Law) adalah bagian
dari hukum berkenaan dengan
pengaturan hubungan perburuhan baik bersifat perseorangan maupun kolektif.
Secara tradisional, hukum perburuhan terfokus pada mereka (buruh) yang
melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan subordinatif (dengan
pengusaha/majikan).
Disiplin hukum ini mencakup
persoalan-persoalan seperti pengaturan hukum atau kesepakatan kerja, hak dan
kewajiban bertimbal-balik dari buruh/pekerja dan majikan, penetapan upah, jaminan
kerja, kesehatan dan keamanan kerja dalam lingkungan kerja, non-diskriminasi, kesepakatankerja
bersama/kolektif,peran-sertapekerja, hak mogok, jaminan pendapatan/penghasilan
dan penyelenggaraan jaminan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarga mereka.
Dalam kepustakaan internasional,
galibnya kajian
Hukum
Perburuhan terbagi ke dalam tiga
bagian:
a.
Hukum Hubungan Kerja Individual
(Individual Employment Law);
b.
Hukum Perburuhan Kolektif
(Collective Labour Law);
c.
Hukum Jaminan Sosial (Social
Security Law), sejauh terkait dengan pokok-pokok bahasan di atas.
Secara
tradisional Hukum Perburuhan dibagi ke dalam lima bagian,
yaitu dengan mengikuti pandangan Profesor
Iman Soepomo. Kendati demikian, sejak
awal abad ke-21, perundang-undangan dalam bidang kajian Hukum Perburuhan
direstrukturisasi dan dibagi ke dalam tiga legislasi utama: Undang-Undang (UU)
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, dan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
Dalam
kaitan dengan kajian hukum perburuhan Indonesia, maka diputuskan membuat
kompromi antara pembagian yang digunakan pada tataran internasional dengan
pembagian berdasarkan perundang-undangan Indonesia, sebagai berikut:
a.
Hukum Ketenagakerjaan Individual
(Individual Employment Law)
b.
Hukum Perburuhan Kolektif
(Collective Labour Law)
c.
Penyelesaian Sengketa
Perburuhan/Ketenagakerjaan (Labour Dispute Settlement).
Sejarah
hukum perburuhan
Hukum
Perburuhan ditengarai muncul pertama kali di Eropa sebagai reaksi atas
perubahan-perubahan yang dimunculkan Revolusi Industri. Penemuan mesin (tenaga)
uap di Inggris sekitar 1750, membuka peluang untuk memproduksi barang/jasa
dalam skala besar. Sebelum itu, secara tradisional, pekerjaan di bidang agrikultur
diselenggarakan mengikuti sistem feodalistik, pekerja atau buruh mengerjakan
tanah milik tuan tanah dan menghidupi diri mereka dari hasil olahan ladang yang
mereka kerjakan sendiri. Sejak abad pertengahan, di perkotaan, kerja terlokasir
di pusat-pusat kerja kecil dan diselenggarakan oleh kelompok-kelompok pekerja
dengan keahlian tertentu (gilda) yang memonopoli dan mengatur ragam
bidang-bidang pekerjaan tertentu. Sekalipun demikian, kelas wirausaha
(entrepreneur) baru yang bermunculan menuntut kebebasan dalam rangka memperluas
cakupan dan
jangkauan aktivits mereka.
Revolusi
Prancis (1795) menjadi simbol tuntutan dari kelompok baru masyarakat modern
yang mulai muncul: diproklamirkan keniscayaan persamaan derajat bagi setiap warga
Negara dan kebebasan berdagang (bergiat dalam lalulintas perdagangan). Hukum
pada tataran Negara-bangsa dikodifikasikan ke dalam kitab undang-undang yang
dilandaskan pada prinsip-prinsip baru seperti kebebasan berkontrak dan
kemutlakan hak milik atas kebendaan. Perserikatan kerja yang dianggap merupakan
peninggalan asosiasi pekerja ke dalam gilda-gilda dihapuskan.
Napoleon
menyebarkan ide baru tentang hukum demikian ke seluruh benua Eropa. Meskipun
demikian, selama kurun abad ke-19 tampaknya kebebasan-kebebasan baru tersebut
di atas hanya dapat dinikmati sekelompok kecil masyarakat elite yang kemudian
muncul. Mayoritas masyarakat pekerja/buruh kasar tidak lagi dapat menikmati
cara hidup tradisional mereka (yang dahulu berbasis agrikultur) dan terpaksa
mencari penghidupan sebagai buruh pabrik. Kebebasan-kebebasan di atas
(berkenaan dengan kebebasan berkontrak dan hak milik absolut) secara dramatis
memaksakan gaya hidup yang sama sekali berbeda pada mayoritas masyarakat
pencari kerja (usia produktif).
Mereka
terpaksa menerima kondisi kerja yang ditetapkan secara sepihak oleh kelompok
kecil majikan penyedia kerja. Kemiskinan memaksa mereka, termasuk keluarga dan
anak-anak kecil, bekerja dengan waktu kerja yang sangat panjang. Kondisi kerja
yang ada juga mengancam kesehatan mereka semua. Gerakan sosialis yang kemudian
muncul, namun juga kritikan dari pemerintah, gereja dan militer, kemudian
berhasil mendorong diterimanya legislasi perburuhan yang pertama. Di banyak
Negara Eropa, buruh anak dihapuskan. Tidak berapa lama berselang penghapusan
ini diikuti oleh kebijakan-kebijakan lain berkenaan dengan jam kerja buruh
perempuan di bidang industri. Baru kemudian aturan yang sama muncul untuk buruh
laki-laki.
Sekitar
tahun 1900-an, beberapa Negara Eropa memodernisasi legislasi mereka perihal
kontrak atau perjannjian kerja, yang sebelumnya dilandaskan pada konsep-konsep
dari Hukum Romawi. Satu prinsip baru diperkenalkan, yaitu bahwa buruh atau
pekerja adalah pihak yang lebih lemah dan sebab itu memerlukan perlindungan
hukum. Buruh
mulai mengorganisir diri mereka
sendiri dalam serikat-serikat pekerja (trade unions). Secara kolektif mereka
dapat bernegosiasi dengan majikan dalam kedudukan kurang lebih setara dan
dengan demikian juga untuk pertama kalinya diperkenalkan konsep perjanjian/kesepakatan
kerja bersama (collective agreement).
Pendirian Organisasi Perburuhan
Internasional ini dilandaskan kepercayaan bahwa perdamaian yang lebih langgeng
harus dibangun berdasarkan keadilan sosial. Berkembangnya legislasi bidang
per-buruhan di banyak negara juga terdorong oleh krisis ekonomi (malaise,
1930-an) dan pengabaian hukum secara massif oleh pemerintahan Nazi-
Jerman. Presiden Amerika Serikat,
Roosevelt, pada akhir Perang Dunia ke-2mendeklarasikan
four freedoms (empat kebebasan) yang
terkenal, dalam hal mana kebebasan ke-empat,
freedom from want(kebebasan dari
kemiskinan) merujuk pada keadilan sosial. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (UniversalDeclaration of Human
Rights; 1948) dengan tegas menyatakan bahwa
hak-hak
sosial adalah bagian dari hak asasi manusia. Negara-negara Eropa mengembangkan
Negara kesejahteraan di mana warga-negara dilindungi oleh pemerintah dari sejak
lahir sampai mati (from the cradle to the grave).
Di Eropa kontinen, undang-undang
perburuhan dibuat untuk mencakup semua aspek yang berkaitan dengan kerja.
Prancis dan Negara-negara Eropa Timur memberlakukan kodifikasi dalam bidang
hukum perburuhan. Di Inggris, karya Otto Kahn-Freund, yang memperkenalkan dan
memajukan pengembangan hubungan industrial dan perbandingan hukum di dalam
bidang hukum perburuhan, memberikan landasan teoretik bagi pengembangan bidang
hukum ini. ILO terus menambah jumlah konvensi dan mengembangkan satu
International Labour Codeyang mencakup semua persoalan yang
terkait dengan perburuhan. Sekalipun demikian, selama dan
pasca krisis minyak bumi di 1970-an, hukum perburuhan dan jaminan sosial tampaknya
telah mencapai puncak perkembangannya. Pada masa itu pula ditengarai adanya
sisi lain dari perkembangan hukum perburuhan: perlindungan yang terlalu ketat
kiranya menyebabkan berkurangnya daya saing industri dan
kelesuan pekerja.
Perkembangan
terkini dalam pasar tenaga kerja Indonesia
Pasar tenaga kerja Indonesia berubah cepat akhir-akhir ini.
Jumlah pekerja yang terlibat dalam proses produksi meningkat pesat karena
Indonesia berkembang menjadi Negara industri baru. Menyusutnya jumlah tanah
agricultural dan persoalan ledakan populasi mendorong perubahan masyarakat
Indonesia dari yang dahulu terutama berbasiskan
pertanian menjadi masyarakat
industri. Dipicu oleh masuknya modal asing, semakin banyak warga masyarakat
Indonesia beralih dari sektor agrikultur masuk ke dalam sektor industri di
perkotaan maupun perdesaan. Hambatan tarif yang lebih rendah dalam peredaran
barang/
jasa, kemajuan dalam bidang
telekomunikasi, murahnya penerbangan komersiil telah membuat Indonesia menjadi
tempat menarik bagi investasi.
Mata
pencaharian mayoritas masyarakat tidak lagi di lading dalam bidang pertanian-peternakan
namun justru berpindah ke pabrik-pabrik (industri). Banyak korporasi besar
tertarik menanamkan modal mereka di Indonesia karena dua hal yaitu, kekayaan
sumberdaya alam dan melimpahnya tenaga kerja murah. Perubahan-perubahan yang
digambarkan di atas besar pengaruhnya terhadap hukum perburuhan Indonesia.
Karakteristik
(ciri-ciri) hukum perburuhan/ketenagakerjaan
§ Lebih banyak (aturan) hukum yang
bersifat kolektif
Banyak disiplin atau bidang ilmu
hukum galibnya hanya mengatur hubungan antara warga masyarakat atau
korporasi/organisasi satu sama lain. Sebaliknya di dalam bidang kajian hukum
perburuhan, pengaturan yang ada mencakup tidak saja hubungan antara majikan dengan
buruh pada tataran individu,melainkan juga antara serikat pekerja dengan
asosiasi pengusaha satu dengan lainnya, termasuk juga antara
organisasi-organisasi tersebut dengan anggota-anggotanya. Ciri ini menjadikan
hukum perburuhan sebagai displin hukum tersendiri dengan telaahan spesifik atas
persoalan persoalan serta solusi di bidang perburuhan.
Mengkompensasikan ketidaksetaraan (perlindungan pihak yang
lebih lemah)Berbeda dengan titik tolak prinsip dasar hukum keperdataan,
kesetaraan para pihak, sebaliknya hukum perburuhan beranjak dari pengakuan
bahwa buruh dalam realitas relasi ekonomi bukanlah
pihak yang berkedudukan setara dengan majikan. Karena itu
pula, maka hukum perburuhan mendorong pendirian serikat pekerja dan mencakup
aturan-aturan yang ditujukan untuk melindungi buruh terhadap kekuatan ekonomi
yang ada di tangan majikan. Dalam perselisihan perburuhan, juga merupakan tugas
pengadilan untuk menyeimbangkan kedudukan hukum para pihak yang bersengketa.
Hal ini, antara lain, dicapai dengan membantu buruh, yakni mengalihkan beban
pembuktian untuk persoalan-persoalan tertentu kepada majikan.
§
Pengintegrasian hukum privat dan
hukum publik
Hukum perburuhan dapat dipandang sebagai bagian hukum
keperdataan maupun hukum publik, atau sebaliknya dianggap sebagai cabang atau
disiplin hukum mandiri. Untuk ahli hukum perburuhan kiranya tidak penting apakah
suatu aturan masuk ke dalam Panah hukum publik atau hukum keperdataan. Apa yang
lebih penting adalah bahwa aturan tersebut berlaku efektif. Hal ini sekaligus
mengimplikasikan bahwa hukum perburuhan mencakup bagian-bagian yang dapatdipandang
masuk ke dalam Panah hukum publik maupun yang masuk ke dalam Panah hukum
keperdataan. Sebahagian aturan dalam hukum perburuhan penegakannya diserahkan
pada para pihak, sedangkan ada pula yang penegakannya akan dipaksakan dan
diawasi oleh lembaga-lembaga pemerintah. Lebih lanjut ada sejumlah peraturan
yang memungkinkan penegakkannya dilakukan berbarengan oleh para pihak sendiri
dengan aparat penegak hukum, baik secara individual maupun kolektif. Untuk
mendapatkan pemahaman utuh atas hukum perburuhan, maka kita harus mempelajari
semua bidang hukum damencermati hukum perburuhan dari ragam perspektif
berbeda.
§ Sistem khusus berkenaan dengan penegakan
Penegakan hukum perburuhan memiliki sejumlah ciri khusus. Di
banyak Negara dapat kita temukan Inspektorat Perburuhan (a Labour Inspectorate)
bertanggung jawab untuk mengawasi implementasi dan penegakan dari bagian-bagian
tertentu hukum perburuhan. Hukum pidana maupun hukum administrasi didayagunakan
untuk menegakkan bagian-bagian hukum publik dari aturan dalam hukum perburuhan.
Majikan maupun buruh, di samping itu, dapat menerapkan dan menegakkan sendiri
sebahagian lainnya dari hukum perburuhan yang lebih bernuansa hukum privat. Namun
juga organisasi kolektif seperti serikat pekerja dapat mendayagunakan semua
instrumen penegakan di atas.
Di samping
itu banyak Negara juga mengenal dan mengem-bangkan sistem penyelesaian sengketa
perburuhan khusus, yakni peradilan perburuhan (sengketa hubungan industrial).
Alhasil, hukum perburuhan dapat ditegakkan melalui instrument hukum pidana,
hukum administrasi maupun hukum keperdataan. Bahkan juga hukum internasional
turut berpengaruh dalam penegakan hukum perburuhan. Sebagai ilustrasi, ILO
dalam rangka memajukan hak berserikat di Indonesia mengritik kebijakan Negara
yang menghalangi penikmatan hak ini oleh buruh dan selanjutnya mengirimkan
utusan khusus untuk bernegosiasi dan menekan pemerintah mengubah sikap dan pendiriannya
Tempat
atau kedudukan hukum perburuhan dalam sistem hukum
Satu
ciri khusus Hukum Perburuhan ialah bahwa cabang ini merupakan percabangan hukum
yang sangat fungsional (functional field of law) yang mengkombinasikan semua
percabangan hukum lainnya berkenaan dengan tema khusus bekerja di bawah majikan
(subordinatedlabour)Sifat dasar hukum perburuhan ini tidak mudah untuk
diklasifikasikan mengikuti pembagian tradisional percabangan sistem hukum.
Perjanjian kerja yang membentuk landasan dari hukum perburuhan pada asasnya
adalah perjanjian keperdataan. Namun, Undang-undang Ketenagakerjaan yang
mengatur kontrak demikian harus kita cakupkan ke dalam hukum publik. Dengan
demikian, terhadap perjanjian kerja berlaku aturan-aturan umum hukum keperdataan
(perjanjian), sebagaimana muncul dalam KUHPerdata maupun aturan-aturan
hukum publik yang bersifat memaksa
yang tercakup di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Juga dapat dikatakan
bahwa Undang-undang Ketenagakerjaan mengkombinasikan ketentuan-ketentuan dalam
hukum keperdataan dan hukum publik, dan karena itu berada di luar klasifikasi
tradisional percabangan sistem hukum. Bagian-bagian tertentu hukum perburuhan
juga kita temukan di atur di dalam Hukum Pidana, Hukum Acara dan Hukum Pajak.
Di samping itu juga
harus kita perhatikan bahwa sebahagian
sumber hukum perburuhan adalah hukum internasional. Berkenaan dengan ini apa
yang penting dicermati bukan saja Kovenan Hak Asasi Manusia PBB, namun juga
konvensi-konvensi yang dikembangkan ILO. Pengaruh ILO terhadap hukum perburuhan
kolektif Indonesia sejak 1990’an meningkat pesat.
Sumber-sumber
hukum dari hukum perburuhan
Dalam hukum perburuhan Indonesia
saat ini, sumber hukum terpenting dalam bentuk perundang-undangan ialah:
• Undang-undang Ketenagakerjaan
• Undang-undang tentang Serikat
Pekerja/Buruh dan
• Undang-undang tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
Ketiga pilar di atas membentuk inti
dari hukum perburuhan Indonesia dan menjadi pokok bahasan pengantar ini.
Kendati begitu perlu pula dicermati bahwa sumber-sumber hukum lainnya juga
harus dirujuk dan berperan dalam penyelesaian perselisihan atau sengketa
perburuhan konkrit.
Secara umum, sumber-sumber hukum
yang terpenting ialah:
• Perjanjian-perjanjian
internasional yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Republik indonesia
• Undang-undang
Dasar 1945
• Perundang-undangan
untuk hal-hal khusus
• Peraturan
dan Keputusan Menteri
• Kesepakatan
kerja bersama
• Preseden
(putusan-putusan terdahulu dari pengadilan)
• Peraturan
Kerja yang ditetapkan perusahaan
• Perjanjian
kerja individual
• Instruksi
oleh majikan/pemberi kerja
• Doktrin
hukum
2. KESEPAKATAN/PERJANJIAN
KERJA
o
Konsep
Perjanjian Kerja
Definisi/pengertian
Ketentuan Pasal 50 Undang-undang Ketenagakerjaan
menetapkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja
antarapengusaha dengan pekerja/buruh.Hukum Indonesia tidak mendefinisikan
perjanjian kerja dengan cara serupa. Namun, Undang-undang Ketenagakerjaan
(UU-TKA) mendefinisikan ‘pekerja’ dan ‘majikan’ sebagai berikut:
(3) pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
(4) Pemberi kerja (majikan) adalah orang perseorangan,
persekutuan,badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenagakerja
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. (Pasal 1UU-TKA)
Satu
aspek penting dari Perjanjian Kerja ialah tidak diwajibkanuntuk dituangkan
dalam wujud tertulis. Ketentuan Pasal 51 (1) UUKmenyatakan bahwa Perjanjian
Kerja dapat dibuat secara tertulis maupunlisan. Meskipun demikian, ketentuan
Pasal 54 (1) UUK setidak-tidaknya
harus
mencakup:
a.
Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b.
Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh;
c.
Jabatan atau jenis pekerjaan;
d.
Tempat pekerjaan;
e.
Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f.
Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusahadan pekerja/buruh;
g.
Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
h.
Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.
Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
2.
Masa percobaan
Suatu
masa percobaan (a probationary period) dalam hukum perburuhan galibnya
adalah suatu jangka waktu, disepakati dalam perjanjian kerja,dalam waktu mana
baik pekerja/buruh maupun majikan/pengusaha memiliki waktu untuk memeriksa
serta mengevaluasi kerja sama diantara mereka dan memutuskan kontrak kerja
dengan sangat mudah.Karena buruh dalam waktu percobaan demikian kedudukan
hukumnya sangat tidak pasti, maka hukum perburuhan mengatur dalam kondisi apa
klausul masa percobaan dapat dicakupkan/dicantumkan kedalam perjanjian kerja.
Terjemahan ke dalam bahasa Inggris dariperaturan perundang-undangan Indonesia
berbicara tentang probationperiod (UUK) atau trial period (KUHPerdata).
Kiranya keduanya dapatdigunakan bergantian karena memiliki sama arti (sinomim).
Kendati demikian pengaturan masa percobaan di keduanya sedikit berbeda satu
sama lain.
Ketentuan
Pasal 60 UUK menetapkan syarat-syarat bagi
pemberlakuan
masa percobaan:
§ Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat
mensyaratkan masa percobaan kerja paling
lama tiga (3) bulan.
§ Pada masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1),pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku
Ketentuan
Pasa 1603l KUHPerdata mensyaratkan bahwa jikadiperjanjikan masa
percobaan, maka selama waktu itu, tiap pihakberwenang memutuskan hubungan kerja
dengan pernyataan pemutusan.Ketentuan ini juga mengimplikasikan bahwa
pemberitahuan demikian dapat diberikan dengan daya kerja atau akan efektif
seketika
Perjanjian kerja
waktu tertentu
Terjemahan
ke dalam bahasa Inggris dari UU Ketenagakerjaan menggunakan istilah perjanjian
kerja waktu tertentu (agreements for aspecified time), disingkat PKWT,
sedangkan negara-negara lain lebih kerap menggunakan istilah fixed-term
contracts (kontrak dengan jangka waktu tetap). Di dalam hukum perburuhan,
jenis kontrak seperti ini seringkali dibatasi, yakni untuk mendorong penggunaan
kontrak dengan waktu tidak tertentu. Kontrak kerja waktu tidak tertentu kiranya
dalam jangka panjang memberikan jaminan perlindungan yang jauh lebih baik bagi
pekerja/buruh. Pembatasan demikian dapat berbentuk
Berdasarkan
ketentuan Pasal 59 UUK, perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat
untuk pekerjaan tertentu yang menurutjenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktutertentu. Selanjutnya ketentuan tersebut menjelaskan
bahwa pekerjaandemikian mencakup:
1.
Pekerjaan yang sekali selesai
atau yang sementara sifatnya;
2.
Pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
3.
Pekerjaan yang bersifat
musiman; atau Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatanbaru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Kebijakan pengupahan
Prinsip
yang melandasi peraturan perundang-undangan berkenaan dengan pengupahan ialah
bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 UUK). Berlandaskan pada
ketentuan itu, maka pemerintah mewajibkan diri sendiri untuk mengembangkan kebijakan
pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
Di
dalam ketentuan yang sama ditetapkan pula bahwa kebijakan
pengupahan
yang dikembangkan pemerintah harus mencakup 11
pokok
hal sebagai berikut:
1.
Upah Minimum;
2.
Upah kerja lembur;
3.
Upah tidak masuk kerja karena
berhalangan;
4.
Upah tidak masuk kerja karena
melakukan kegiatan di luar pekerjaannya;
5.
Upah karena menjalankan waktu
istirahat kerjanya
6.
Bentuk dan cara pembayaran upah
7.
Denda dan potongan upah
8.
Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah
9.
Struktur dan skala upah yang proporsional
10.
Upah untuk pembayaran pesangon; dan
11.
Upah untuk perhitungan pajak
penghasilan.
Upah dalam hal
buruh tidak bekerja
Ketentuan
Pasal 93 UUK menetapkan:
(1)
Upah tidak dibayar apabila
pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
Apa yang
ditetapkan di sini adalah prinsip fundamental yang sejatinya berlaku
bagi setiap
pekerja/buruh, terkecuali pekerja/buruh tidak dapat melakukan
pekerjaan
bukan karena salahnya.